perempuan yang selalu bernyanyi tapi tidak pernah menari


jaman dahulu kala di sebuah kota metropolitan jakarta, hiduplah seorang perempuan yang selalu bernyanyi namun tidak pernah menari. ketika pergi ke sebuah tempat hiburan untuk berkaraoke bersama teman-temannya, dia hanya akan bernyanyi sambil duduk. sesekali kepala atau pundaknya bergoyang mengikuti alunan musik, tapi itu bukan sebuah tarian.
     sementara teman-temannya mengangkat tangan ke udara sambil bergoyang pinggul, dia tetap duduk dan hanya bisa menyumbangkan senyum atau tawa pada mereka yang menari. bila ada yang berhasil memaksanya menari, orang hanya akan melihat tubuhnya bergerak kaku, tak pula sejalan dengan irama lagu. tahu begitu, mereka tak lagi mau mengajaknya bergoyang seiring lagu.
     perempuan yang selalu bernyanyi ini bukan pelanggan tempat karakoke, bukan kontestan ajang adu bakat di televisi. dia tidak pernah berniat menjadikan suaranya alat mencari nafkah. tapi, ia selalu bernyanyi. ia bernyanyi ketika bekerja di depan komputer kantornya. tak peduli semua telinga menangkap suaranya dan mulut mereka tersenyum melihat tingkahnya.
     kala makan malam di sebuah restoran temaram bersama seorang pria, ia bernyanyi mengikuti lagu-lagu romantis yang mengalun lamat-lamat. setiap bait diselingi suapan. ketika lagu memasuki intro, ia mengisinya dengan obrolan. kemudian, kembali bernyanyi. si pria yang sudah sangat mengenalnya, tak protes atau komentar, hanya menikmati kebersamaan mereka.
     ia bernyanyi kala sedih. air mata tak dapat mencegahnya bernyanyi. perempuan itu terus bernyanyi meski getar rasa terdengar dalam suaranya. ia bernyanyi sendiri, di kamarnya yang sepi. ketika marah, ia akan memutar tombol volume hingga telinganya tak dapat mendengar suara lain selain musik yang keras menghentak-hentak. tenggorokannya akan kering karena ia akan terus menyanyikan puluhan lagu hingga lelah dan tertidur. urat di lehernya akan tampak menonjol karena bekerja keras menggetarkan pita suara.
     jatuh cinta dimunculkannya dalam lagu-lagu cinta. patah hati disembuhkannya dengan dengan menjerit dalam tembang kenangan. ia tetap bernyanyi dalam berbagai macam suasana hati. setiap ada lagu favoritnya yang tertangkap daun telinga, mulutnya otomatis ikut bersuara. jangan salah, lagu kesukaannya bukan hanya satu-dua, ratusan banyaknya. beberapa ia memberikan label “lagu gue” untuk lagu-lagu yang merekam kenangan hidupnya.
bagaimana bila tak ada tembang yang mengalun? ini jarang terjadi, karena mesin pengolah suara di kamar tidurnya hampir tidak pernah berhenti berbunyi memainkan ratusan koleksi kasetnya. di jalan ia akan memasang walkman. bila ruang kantornya sepi musik ia akan berteriak meminta musik.
    ketika di atas motor tanpa walkman, perempuan bersuara biasa-biasa saja itu tetap bernyanyi. anda tidak akan tahu, karena mulutnya tertutup bandana dan suara lalu-lintas kendaraan menenggalamkan nyanyiannya. tapi dia bernyanyi, berteriak mengalahkan deru mobil. dan tentunya, ia juga bernyanyi di kamar mandi.
    lalu, kenapa dia selalu bernyanyi dan tidak pernah menari? ia pun tak tahu itu. mungkin musik hanya mampu menggerakan mulut dan pita suaranya, dan bukan tubuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini