Memenuhi Kebutuhan Emosi
“I love you. You... you complete me,” kata Jerry Maguire.
Lalu Dorothy membalas dengan berkata:
“Shut up, just shut up. You had me at ‘hello’.”
Ungkapan “you complete me” sering digunakan dalam untuk menggambarkan bagaimana pasangan kita membuat diri merasa lengkap, utuh. Pakar psikologi mengatakan, pasangan tidak bisa melengkapi kita, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan emosi. Mereka hanya bisa memenuhi keinginan dan hasrat.
Menuntut orang-orang terdekat untuk memenuhi kebutuhan emosi kita bukanlah tindakan tepat dan tidak rasional. Kita harus bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan emosi kita sendiri. "Jika Anda mencari pasangan yang dapat membuat Anda berarti, bahagia, menyelamatkan dari kebosanan dan kesedihan hidup; jika Anda mencari orang yang dapat melengkapi, itu bukan hal yang mudah dilakukan. Karena sebenarnya yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan itu Anda sendiri," kata Dennis Sugrue, psikologis dari medicinenet.com.
Menurut Psikolog Toge Aprillianto, M. Psi., emosi adalah energi penggerak alami yang berkaitan dengan hormon. Emosi ditampilkan sebagai temperamen. Jadi, kebutuhan emosi adalah kebutuhan yang perlu dipenuhi agar kondisi hormonal kita selaras-seimbang secara konsisten. “Pemahaman tentang kebutuhan emosi menjadi penting karena itu akan membantu kita memahami apa yang perlu dilakukan,” kata Toge.
Ada dua jenis emosi: primer (jenis emosi yang muncul seketika kerena dipicu suatu kejadian) dan sekunder (jenis emosi yang muncul sebagai dampak munculnya emosi primer). “Misalnya, kalau emosi primer takut, emosi sekundernya antara lain adalah rasa terancam. Dalam situasi itu, kita perlu menghilangkan rasa takut. Bila tidak mengerti tentang emosi, kita bisa salah memahami bahwa kebutuhannya adalah menghilangkan rasa terancam. Padahal, kalau rasa terancam hilang tapi rasa takut tidak, maka kondisi emosi kita tetap bergejolak dan tetap merasa gelisah,”ujarnya. Kegelisahan akibat kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi dapat membuat kita akan sulit mengelola aktivitas. Inilah yang membuat msalah-masalah berikut muncul dan sulit diselesaikan.
“Saya selalu merasa dimanfaatkan saat menjalin hubungan. Bagaimana cara menjalin percintaan yang lebih sehat?”
Saat memilih pasangan, kita sering tidak tahu apa yang kita butuhkan dan inginkan. "Anda mencari di berbagai tempat, menjalani kencan pertama kedua, ketiga, dan kencan pertama lagi dengan orang berbeda. Lalu saat kita akhirnya menemukan orang yang tepat dan menikah, belum tentu bisa bertahan selamanya,” kata psikolog Gilda Carle, PhD., penulis buku Don't Bet on the Prince -- How to Have the Man You Want by Betting on Yourself. Jika siklus yang terjadi selalu demikian, menurut Gilda pasti ada yang salah.
Kebutuhan emosi kita akan menentukan bagaimana hubungan dengan orang lain. Psikolog Dennis Sugrue mengatakan kita harus mengenali kebutuhan itu sebelum menemukan orang yang bisa menjadi pasangan. “Tiap orang punya cara tersendiri bagaimana memenuhi kebutuhan emosi agar dapat merasa bahagia dan aman " kata Sugrue Associate Clinical Professor of Psychiatry di University of Michigan Medical School dan salah satu penulis buku Sex Matters for Women.
Cara menemukan kebutuhan emosi dengan melihat pola hubungan percintaan kita sebelumnya. Lihat siapa yang bisa memenuhi kebutuhan, biasanya mereka adalah anggota keluarga atau teman yang behubungan baik dengan kita. "Ingat-ingat, hubungan yang baik adalah yang dapat membuat hidup kita lebih berkualitas," kata psikolog Dennis Lowe, PhD, pendiri dan direktur Center for the Family di Pepperdine University, Los Angeles. Anda juga harus bisa menjadi diri sendiri dalam menjalin hubungan tersebut.
“Saya berusaha keras menurunkan berat badan. Sudah mencoba macam-macam diet tidak ada yang berhasil.”
Diet sering membuat kita merasa kalah. Peranturan, larangan dan dan tuntutannya seperti mustahil kita penuhi. Belum lagi citra tubuh ideal di media massa yang sepertinya sulit dijangkau. Saking sibuknya melangsingkan tubuh, kita sering melupakan berbagai aspek positif yang ada dalam diri. Bukan perut buncit yang harus diubah, tapi cara berpikir kita mengenai tubuh sendiri. Mencintai diri sendiri adalah alat fitnes paling ampuh bagi jiwa dan raga.
Tubuh manusia tidak dirancang untuk bebas lemak. Perut kita tidak diharuskan sekeras batu. Ada sebagian kecil manusia yang secara alami bisa memiliki perut six-pack, tapi secara realistis tubuh kita memang harus memiliki lekukan dan gumpalan lemak. Seiring usia, tubuh kita berubah secara alami. “Kita harus bisa menerimanya agar pikiran dan tubuh kita sehat. Cara ini akan lebih berhasil dibandingkan dengan pengingkaran atau mengkritik terus menerus berbagai bagian tubuh kita,” kata Wendy Oliver-Pyatt, MD penulis buku Fed Up: The Breakthrough 10-Step No Diet Fitness Plan.
Menurut Wendy, ketika tubuh kita menyimpan energi cadangan dalam bentuk lemak tubuh, bisa jadi itu akan berguna untuk kondisi tertentu seperti serangan penyakit atau bencana alam yang bisa saja tiba-tiba terjadi. Tubuh kita tidak tahu bahwa kita telah hidup pada masa makanan tersedia melimpah. “Masuk akal bukan jika tubuh kita menyimpan cadangan makanan lebih banyak saat usia bertambah karena semakin tua kita semakin rentan terkena penyakit,” ujarnya.
“Saya tidak bisa menghilangkan trauma masa kanak-kanak.”
Kita cenderung menyembunyikan masa kanak-kanak yang menyedihkan. Bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari diri kita sendiri dengan menganggapnya tidak terjadi. Hal-hal ini membuat trauma sulit disembuhkan dan kita harus terus berperang dengan efek sampingnya: sering mimpi buruk, mudah terkejut, dan munculnya berbagai pikiran buruk yang mengganggu.
"Trauma merupakan fenomena kompleks yang dapat menimbulkan banyak efek negatif saat Anda beranjak dewasa,” kata Menurut Margaret E. Blaustein, Ph.D., Director of Training and Education The Trauma Center di Brookline, AS. Efek itu misalnya kita akan terus menjadi korban kekerasan dari orang-orang terdekat, mengalami masalah-masalah sosial seperti mengandung di usia dini, masalah mental seperti depresi dan ketergantungan terhadap obat-obatan terlarang, serta masalah medis seperti obesitas.
Untuk mengatasi dan mencegah trauma berkelanjutan, kita harus menyadari keberadaannya. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah memaafkan orang yang menyebabkan trauma masa kecil kita. Jika kita mengalami kekerasan di masa kanak-kanak, tahapan ini akan sangat sulit dilakukan. Bahkan tetap sulit jika kita mengalaminya ketika dewasa. Sulit, tapi penting dan mendasar untuk dilakukan.
Waktu dapat menyembuhkan segalanya dan rasa percaya pada orang lain harus ditumbuhkan. Percaya dapat dilakukan secara total jika kita mengetahui cara melepaskan diri dari masa lalu yang menyakitkan itu. Kita mungkin tidak akan bisa melupakannya, tapi untuk melanjutkan hidup yang berkualitas kita harus melepas trauma itu.
“Saya selalu ingin menyenangkan orang lain tanpa mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri.”
Secara tidak sadar kita dibesarkan untuk dapat selalu menyenangkan orang lain. Membuat orang lain senang tidak ada salahnya, tapi bila berlebihan dapat merusak emosi kita. Psikolog Jay Earley, PhD, dalam artikelnya "The People Pleaser Pattern: Transforming Compliance to Autonomy" mengatakan, salah satu penyebab seseorang selalu ingin membuat orang lain senang tanpa menghiraukan kepentingan dirinya terletak pada cara didik orangtua.
Orangtua hanya menunjukkan rasa sayang ketika anak mereka melakukan hal-hal baik dan menurut. Ketika anak melakukan kenakalan atau berulah sedikit, reaksi mereka berubah180 derajat, marah-marah berlebihan. Pola asuhan semacam ini akan membuat anak berpikir satu-satunya cara untuk disenangi atau disayangi adalah dengan bersikap patuh dan berkata “iya” setiap saat. Bila itu terus berlangsung, kita akan menelan perasaan sendiri, terutama kemarahan dan ketidaksetujuan, hingga akhirnya tidak mengetahui perasaan kita kita sesungguhnya.
Bila kita tidak bisa berkata “tidak” setiap anak atau suami meminta sesuatu atau selalu mengiyakan bila diberi tugas yang seharusnya menjadi kewajiban rekan di kantor, itu berarti ada kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi. Sebelum kita semakin tertekan, kelelahan, dan kehilangan jati diri, cobalah untuk mengakui bahwa terobsesi untuk selalu menyenangkan orang lain adalah sebuah masalah yang harus diatasi.
Ubah kebiasaan ini dengan mulai mengekspresikan kebutuhan diri sendiri dengan tegas pada orang-orang di sekitar. Mulailah dengan orang yang pengertian, bisa dipercaya, dan tidak terlalu dominan terhadap kita. Ingatlah selalu kalau berbeda pendapat dengan orang lain tidak dilarang. Hentikan kebiasaan berkata “iya” pada semua orang. Kadang dengan mengatakan tidak dan berani mengungkapkan pendapat secara jujur, kita akan lebih dihargai.
(artikel pernah dimuat di majalah Prevention Indonesia edisi Maret 2011)
Komentar
Posting Komentar