Mental Penggemar



Penggemar itu sama kaya cinta. Dua-duanya buta. Tidak semua, tapi seringnya begitu.

Saya penggemar Adam Levine dan suka sebal kalau ada yang bilang dia gay. Padahal nggak ngaruh juga kan orientasi seksnya dengan penampilan dan musiknya. Namanya juga penggemar... Kalau sebutan gay itu dikatakan seseorang dengan nada negatif, ya pasti saya dengan butanya bilang "Nggak kaleee... dia gak gay!" Padahal, kalau saya mau sedikit membuka mata, kelihatan kok ciri-ciri gay di Mr. Levine ini. Mungkin yang bikin saya kesal bukan dia gay atau tidak, tapi intonasi negatif yang mengikuti tuduhan gay itu.

Hal yang sama terjadi di dunia kesehatan. Sekarang banyak dokter yang menjadi selebriti. Seminarnya bagaikan konser yang dihadiri beramai-ramai. Twitternya dibanjiri follower yang bertanya ini-itu. Saking butanya, mereka sampai lupa, dokter ini spesialisasinya apa. Ada yang bertanya masalah kehamilan ke dokter anak; menanyakan pola makan ke psikolog; dan pertanyaan-pertanyaan bodoh lain. Dokter yang masih sadar biasanya akan membiarkan pertanyaan bodoh itu tidak terjawab. Atau jika memang punya waktu, mereka akan merekomendasikan rekan dokter lain yang lebih kompeten untuk menjawabnya.

Saking butanya para penggemar ini, mereka telan bulat-bulat perkataan para dokter. Bahkan tidak jarang yang menjalani perkataan tersebut dengan cara ekstrim.

Soal gerakan ASI Eksklusif yang dimotori oleh banyak dokter selebriti misalnya. Gerakan ini membuat susu formula dibenci dan dibilang berbahaya untuk dikonsumsi. Saya pendukung ASI Eksklusif, tapi tidak sebegitunya juga sampai mengatakan susu formula berbahaya. Susu formula itu mubazir bukan berbahaya. Kalau bahaya sudah ditarik dari peredaran dong... Iya memang industri susu formula di Indonesia itu sinting, tapi tetap saja mereka tidak bisa menjual "racun" bukan? Susu ya sama saja, mau itu bentuknya susu bubuk atau UHT, atau pasteurisasi. Susu bubuk kalau yang full cream kandungannya tidak jauh berbeda dengan susu UHT kok. Susu UHT juga sekarang bisa ditambahkan macam-macam, tidak beda jauh dengan susu bubuk yang identik dengan susu formula itu.

Kalau mau lebih kritis dan membuka wawasan sedikit, para penggemar ini harusnya tahu kalau gerakan ASI Eksklusif itu ada akibat generasi sebelumnya terlalu memuja susu formula. Sebenarnya kita cukup mengetahui manfaat ASI, memperjuangkan ASI eskklusif, mengurangi konsumsi susu formula dan segala bentuk produk susu lain. Kenapa harus dikurangi? Karena sebenarnya susu itu bukan minuman ajaib yang bisa memenuhi semua kebutuhan gizi seperti yang dikatakan dalam iklan. Kalau tidak bisa minum susu ya tidak masalah. Kebutuhan gizi masih bisa dipenuhi dari makanan biasa. Kalsium juga bisa diperoleh dari sumber lain. Susu menjadi berbahaya kalau konsumsinya berlebihan. Sama seperti makanan lain.

Contoh lainnya? Nasi. Ada dokter yang benci nasi seperti dia juga membenci susu. Kenapa dia begitu? Sebenarnya dia hanya ingin mengatakan kalau kita terlalu banyak mengonsumsi nasi. Di Indonesia, susu dan nasi sama-sama menjadi makanan yang diagung-agungkan. Salah? Iya, karena prinsip makanan sehat yang terbaru dan diakui oleh banyak pakar dan lembaga pangan internasional adalah seimbang dan beragam. Seimbang dengan panduan piramida makanan, beragam dengan prinsip semakin berwarna-warni semakin sehat. Jadi memang salah kalau tiga kali sehari makan nasi putih, padahal banyak jenis karbohidrat lain yang lebih sehat dari nasi putih. Namun, kalau demikian adanya apakah nasi itu jahat? Harus dibenci? Harus pantang makan nasi seumur hidup? Tidak harus begitu kan? Toh, dokter yang mengatakan jangan makan nasi dan mengganti sumber karbohirdrat hanya dari sayur dan buah itu, kadang juga makan nasi kok...

Sebenarnya kalau kita mau mencari tahu konsep utama yang ingin disampaikan para dokter itu, kita tidak perlu membenci makanan tertentu. Tidak usah pantang ini itu. Tidak perlu menyebar kebencian terhadap orang yang masih melakukan pola makan yang tidak sama dengan kita. Lagi pula, apakah kita yakin seyakin yakinnya kalau pola makan yang kita anut paling benar? Kalau apa yang dikatakan si dokter itu sudah terbukti secara ilmiah lewat penelitian klinis yang terpercaya?

Dokter-dokter itu juga baca buku kok. Apa yang dia ajarkan itu biasanya bukan hasil penelitiannya sendiri, bukan murni hasil pemikirannya. Mereka belajar itu saat kuliah atau dari buku yang dipublikasikan secara luas. Dan, kalau kita mau sedikit berusaha, kita juga bisa baca bukunya sendiri. Siapa tahu kita menemukan fakta lain yang luput dimengerti si dokter. Atau, kita bahkan bisa mencari penelitian yang lebih baru yang mungkin hasilnya tidak sama lagi dengan apa yang dikatakan si dokter itu. Pengetahuan kan berkembang...

Sebagai penggemar Adam Levine, saya tidak akan sakit atau mengalami gangguan makan dengan mempercayai kata-katanya. Dia pernah mengatakan kalau bukan gay. Saya percaya. Ya sudah sampai di situ saja efeknya. Separah-parahnya, saya hanya akan adu mulut dengan orang yang mengatakan sebaliknya. Mental penggemar saya tidak akan membahayakan hidup.

Lalu bagaimana kalau mental penggemar ini diterapkan di bidang kesehatan? Bodoh! Saya tidak akan berkata sekeras itu 10-20 tahun lalu, saat internet dan informasi tidak semudah sekarang untuk dijangkau. Kalau Anda bisa pakai twitter, berarti bisa buka google juga kan? Kalau Anda bisa mengeluarkan uang untuk mengikuti seminar parenting, berarti bisa beli buku atau majalah tentang kesehatan kan?

Bodoh aja sih kalau dengan rela berlelah mengubah pola makan, pola hidup, hanya dengan dasar sebuah perkataan dalam bentuk kultwit, buku, seminar yang sifatnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Logika saja bisa salah lho... pembicara yang pintar bisa membolak-balikkan fakta dan membuatnya seolah menjadi logis. Coba cek informasi yang didapat. Jangan langsung percaya informasi baru, apalagi langsung mempraktekkannya. Ini masalah kesehatan lho... masalah medis... kalau salah, tubuh kita bisa kenapa-kenapa. Bisa sakit... Dokter itu juga biasanya bilang kok, kalau kita tetap harus konsultasi ke dokter, dsb. Buat apa mereka cuap-cuap kalau bukan menambah jumlah pasien.

Saya baru berbicara tentang pengemar dokter-dokter terkenal ya... Bagaimana dengan penggemar orang biasa tanpa gelar dan latar belakang medis yang memberikan "kuliah" tentang nutrisi dan kesehatan? Bodoh kalau penggemarnya percaya-percaya saja tanpa mengecek keakuratan omongannya. Hati-hati kalau yang diucapkan itu bombastis dan tanpa menyebutkan sumber. Ada sumbernya pun harus kita cek kok... Bodohnya kok pada percaya ya? Padahal dia sudah memberikan "peringatan" kalau itu hanya kibulan... Kalau begini siapa sebenarnya yang bodoh? Ya mereka yang bermental penggemar! Percaya buta dengan omongan yang belum tentu benar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Makna Rumah dalam Personifikasi Kulkas, Ranjang dan Celana

Puisi-puisi Norman Erikson Pasaribu dan Pentingnya Keragaman dalam Sastra Indonesia

Rahim dan Kepahitan Perempuan dalam Patiwangi Karya Oka Rusmini